Mendukung Perusahaan Sosial Pelajaran dari Cina dan Singapura - TopicsExpress



          

Mendukung Perusahaan Sosial Pelajaran dari Cina dan Singapura Jalal Aktivis Lingkar Studi CSR csrindonesia Ketika hasil survai soal kinerja keberlanjutan diluncurkan oleh GlobeScan dan SustainAbility di pertengahan 2013 lalu, tak banyak orang terkejut dengan hasilnya. LSM dan perusahaan sosial (social enterprise) masih terus dianggap yang paling tinggi kinerjanya dalam keberlanjutan. Hasil ini sebetulnya merupakan pukulan telak untuk dua sektor raksasa: perusahaan dan pemerintah. Betapa tidak? Judul penelitian itu sendiri adalah Changing Tack: Extending Corporate Leadership on Sustainable Development, namun hasilnya menyatakan bahwa kinerja perusahaan sendiri tidaklah semoncer yang diharapkan. Sementara, pemerintah yang sebetulnya paling diharapkan untuk memimpin kemajuan ke arah pembangunan berkelanjutan ternyata adalah yang berkinerja terburuk. Tentu, itu adalah hasil rata-rata. Ada perusahaan-perusahaan yang sangat terpuji, demikian juga dengan pemerintahan—walaupun jelas yang bisa dipuji di antara 200an pemerintahan di dunia ini agaknya masih terlalu sedikit. Banyak pendirian bahwa rahasia suksesnya LSM dan perusahaan sosial dalam mengelola isu-isu keberlanjutan adalah karena skala kerjanya yang relatif kecil, dibandingkan dua sektor lainnya. Namun demikian, orang juga bisa berargumentasi melawan pendirian tersebut. Bukankah perusahaan-perusahaan yang skalanya tidak besar, yaitu UMKM, tidak juga bisa dipandang sebagai eksempar dalam upaya menggenjot pembangunan berkelanjutan? Jalan pemikiran yang lebih menarik telah ditunjukkan. September tahun lalu, ketika penulis hadir di CSR Asia Summit 2012 di Beijing, Pemerintah Cina baru saja mengumumkan suatu projek berskala raksasa—tampaknya tak ada yang tak gargantuan di sana—yaitu pemanfaatan 1% dari keuntungan seluruh BUMN untuk membangun perusahaan-perusahaan sosial. Pemerintah Cina mengakui bahwa perusahaan-perusahaan sosial yang didirikan oleh banyak anak muda ternyata banyak sekali membantu mereka dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat. Mulai dari menyediakan bahan pangan untuk masyarakat miskin yang menghadapi bahaya kelaparan hingga menyediakan pakaian penghangat tubuh yang layak pakai bagi kelompok miskin yang menghadapi bahaya musim dingin, perusahaan-perusahaan sosial di Cina telah menunjukkan prestasinya. Menyadari betapa dahsyatnya potensi bantuan perusahaan sosial atas berbagai masalah ekonomi-sosial-lingkungan bagi masyarakat, maka Pemerintah Cina kemudian memutuskan untuk meningkatkan skala dampak dari perusahaan sosial. Caranya, dengan menyuntikkan bantuan modal dari keuntungan BUMN kepada perusahaan sosial yang sudah eksis dan jelas hasilnya, juga memanfaatkan keuntungan itu untuk menciptakan perusahaan-perusahaan sosial yang baru. Dengan demikian, kelompok penerima manfaatnya menjadi sangat besar. Tapi Pemerintah Cina tak sekadar melihat bantuan modal sebagai satu-satunya cara membantu tumbuhnya perusahaan sosial di sana. Profesor Muhammad Yunus—pemenang Nobel Perdamaian dan salah satu pakar yang bertanggung jawab mempopularkan konsep perusahaan sosial—diundang untuk berbicara di salah satu universitas. Namun, bukan hanya mahasiswa dan dosen universitas tersebut yang bisa menikmati ceramah sang pendiri Grameen Bank itu. Secara langsung, ceramah itu disiarkan ke 50 universitas di seluruh Cina, dan rekamannya pun disebarluaskan. Akademi Ilmu Sosial Cina yang sangat terpandang itu menjadi kolaborator Pemerintah dan Muhammad Yunus dalam menularkan virus kewirausahaaan sosial itu kepada generasi muda terpelajar di Negeri Tirai Bambu. Hasil usaha tersebut mungkin baru bisa dipanen beberapa tahun dari sekarang, namun keseriusan seperti itu tentu akan memberikan dampak yang tak sedikit. Hampir tepat setahun kemudian, ketika penulis sedang dalam penerbangan menuju Phnom Penh untuk berbicara di sebuah seminar, sebuah berita di harian Singapura, Today (15/10 2013), membetot perhatian. New Programme to Help Social Enterprises Maximise Impact, demikian tajuknya. Isinya lagi-lagi membuat penulis sangat iri hati. Presiden Singapura, Dr. Tony Tan, bersama dengan Menteri Pengembangan Sosial dan Keluarga, meluncurkan sebuah program yang diberi nama Social Enterprise Mentoring Programme, bersamaan dengan peresmian konferensi tahunan Asosiasi Perusahaan Sosial. Idenya sama dengan apa yang dinyatakan di Cina: meningkatkan skala operasi perusahaan sosial dan menciptakan dampak sosial yang lebih besar. Bedanya, Singapura tidak memulainya dengan menggelontorkan dana terlebih dahulu, melainkan mengumpulkan dan memanfaatkan sumberdaya lain yang juga sangat diperlukan, yaitu sumberdaya manusia. Sebagaimana namanya, dalam program ini Pemerintah Singapura meminta sumbangan waktu dan keahlian para eksekutif dan pemilik bisnis paling sukses untuk menjadi mentor—dalam bidang pemasaran, perencanaan strategis, dan pengembangan bisnis—selama delapan bulan, mulai Desember 2013 hingga Juli 2014. Sebagai projek percontohan, 5 perusahaan sosial akan mendapatkan mentoring tersebut. Kini, para mentor tersebut sedang diseleksi berdasarkan kemampuan-kemampuan terbaiknya yang dibutuhkan oleh kelima perusahaan sosial yang telah terpilih. Mengapa Pemerintah Singapura melihat mentoring bisnis sebagai hal yang sangat penting? Bukankah perusahaan memiliki kinerja keberlanjutan tidak sebaik perusahaan sosial? Benar, namun sangat jelas bahwa pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan oleh perusahaan sosial untuk meningkatkan dampaknya adalah sisi bisnisnya, bukan sisi manfaat bagi masyarakatnya. Perusahaan sosial sudah jelas berhasil memanfaatkan pasar untuk memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat, namun terhambat dalam membesarkan sisi bisnisnya. Padahal, kalau bisnis perusahaan sosial membesar, maka manfaat yang diterima oleh masyarakat akan membesar juga secara proporsional. Dalam kata-kata Peter Yang, manajer program mentoring tersebut, “You need to have the skill set to manouvre both the work—meaning working with your beneficiary, as well as business savvy—to establish a sustainable business.” Satu hal yang selalu diingat kalau Pemerintah Singapura melakukan sesuatu yang terkait dengan pembangunan berkelanjutan adalah disebarluaskannya pengetahuan dan keterampilan secara masif melalui berbagai saluran. Ketika mereka hendak mendorong penggunaan pelaporan keberlanjutan di antara perusahaan-perusahaan terbuka, kita bisa menyaksikan betapa sebuah website dimunculkan untuk menyediakan semua informasi yang membuat siapapun—bukan hanya perusahaan dan warga Singapura—dapat belajar secara komprehensif tentang pelaporan keberlanjutan. Hampir bisa dipastikan, projek percontohan ini nantinya juga akan bisa dipelajari proses dan kinerjanya melalui saluran-saluran teknologi informasi. Pelajaran paling penting yang bisa diambil dari kedua kasus itu sebetulnya adalah bahwa perusahaan sosial tidak memulainya dari bantuan pemerintah dan perusahaan. Ia adalah gerakan sosial. Namun, pemerintahan yang progresif segera melihat bahwa potensi perusahaan sosial untuk membantu memecahkan berbagai masalah pembangunan sangatlah besar. Perusahaan sosial di Cina dan Singapura melakukan apa yang dinamakan selling impact, meminjam kata-kata Jason Saul dalam The End of Fund Raising: Making More Money by Selling Your Impact (2011). Mereka menunjukkan terlebih dahulu keberhasilan dalam memecahkan masalah, dan akhirnya mendapatkan pengakuan atas keberhasilan itu serta potensinya yang dahsyat. Ketika kesadaran itu timbul di kalangan pemerintah dan perusahaan, maka bantuan untuk meningkatkan skala bisnis sosial pun berdatangan. Siapa yang tak ingin turut serta dalam kesuksesan seperti itu? Menurut hemat penulis, ketika kesadaran dan bantuan itu datang, maka yang akan menangguk keuntungan bukan saja perusahaan sosial dan masyarakat penerima manfaatnya. Pemerintah jelas akan bisa bernafas lebih lega karena sebagian tugasnya telah dikerjakan oleh pihak lain. Sementara, perusahaan yang terlibat dalam kemitraan dengan perusahaan sosial akan mendapatkan banyak sekali pelajaran tentang pengelolaan dampak sosial dan lingkungan (yang sangat diperlukan oleh perusahaan dalam menjalankan CSR-nya). Sejalan dengan waktu, kemitraan yang tadinya dipikirkan sebagai bantuan perusahaan kepada perusahaan sosial mungkin akan membuktikan sebaliknya, yaitu bahwa bantuan yang lebih besar sesungguhnya diberikan oleh perusahaan sosial kepada perusahaan. Tentu, ini hanya firasat saja. Pembuktiannya masih harus kita tunggu beberapa tahun ke depan di Cina dan Singapura. Mungkin juga akan ada pelajaran dari Indonesia, kalau perusahaan sosial di negera kita sudah bisa juga melakukan selling impact, dan pemerintah dan perusahaan menyadarinya. Pemerintahan Indonesia mendatang, mungkin? Phnom Penh, 15 Oktober 2013
Posted on: Wed, 16 Oct 2013 02:47:23 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015