Belajar dari Kisah Fang Nu dan Marga Fang Di China Ratusan juta - TopicsExpress



          

Belajar dari Kisah Fang Nu dan Marga Fang Di China Ratusan juta rakyat China terpaksa menjadi budak rumah akibat harga hunian yang selangit You have fever? Are you crazy? This is good shirt! No! Begitu kata Xiao Lan menawarkan kaus dagangannya dengan sepersepuluh harga di Yashow Market, Beijing, China. Tapi, ketika calon pembeli hendak berlalu, Xiao buru-buru mencegah. Segala jurus kecaman dan rayuan dia kerahkan agar dagangannya terjual sesuai dengan harga yang dia inginkan. Setelah tawar menawar yang alot, akhirnya ia menyerah. Come on, give me another five. I have to pay my house, ujarnya pura-pura memelas. Xiao Lan rupanya tak berpura-pura ketika mengaku dirinya butuh uang untuk mencicil kredit rumahnya yang ada di pinggiran Beijing. Setiap bulan, perempuan 29 tahun ini harus membayar kredit pemilikan rumah (KPR) sebesar 4.000 yuan (CNY) atau sekitar Rp 7,5 juta. Menurut Xiao Lan, pembayaran sebesar itu memakan separuh penghasilan bulanannya. Untunglah, tahun lalu ia sudah menikah. Sebagian besar beban ditanggung sang suami yang pegawai sebuah perusahaan telekomunikasi. Anda boleh pikir saya banyak duit. Tapi, kami menghabiskan banyak uang untuk membayar kredit rumah, akunya. Xiao Lan tak sendirian. Saat ini ratusan juta rakyat China harus membanting tulang dan menghabiskan proporsi terbesar penghasilannya untuk mencicil rumah. Mereka inilah yang dijuluki fang nu, budak rumah. Disebut budak rumah lantaran mereka harus menghabiskan sebagian besar usia hanya untuk bekerja agar bisa mengangsur cicilan KPR. Para fang nu bukan cuma pedagang seperti Xiao Lan, tapi juga profesional muda. Kebanyakan dari mereka sebenarnya masuk kelas berpendapatan menengah dan bawah. Problemnya, harga rumah di China sekarang sangat mahal. Menurut Raymond Widjaja, pengurus Perhimpunan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia di Tiongkok (Permit), harga apartemen dengan luas sekitar 100 meter persegi (m2) di Beijing, bisa mencapai lebih dari CNY 1,5 juta atau di atas Rp 2,5 miliar. Dengan pendapatan per kapita penduduk China sekitar US$ 6.100 per tahun (Bank Dunia) atau hampir dua kali lipat pendapatan per kapita orang Indonesia (US$ 3.500), harga tersebut masih kelewat mahal. Buktinya bukan cuma apa yang dialami Xiao Lan. Data Dana Moneter Internasional (IMF) menunjukkan, rasio harga hunian seluas 70 m2 di Beijing mencapai 22,3 kali rata-rata penghasilan bulanan penduduknya. Dan, bukan cuma Beijing, kota-kota lain di China, seperti Shanghai, Shenzhen, Tianjin, Hong Kong, dan Guangzhou, menempati posisi sebagai kota dengan harga properti residensial paling mahal di seantero bumi (lihat infografis). Rasio harga rumah dengan penghasilan penduduk kota-kota di China, bahkan mengalahkan rasio serupa di Amerika Serikat (AS). Di AS, orang hanya menghabiskan hampir 9% penghasilan yang mereka belanjakan (disposable income)untuk cicilan KPR. Di China, rakyatnya bisa menghabiskan 30% sampai lebih dari 50% disposable income untuk cicilan KPR. Akibat urbanisasi Sekadar perbandingan, rasio harga rumah di Jakarta hanya sekitar 5,3 kali rata-rata penghasilan tahunan penduduk Indonesia. Ini saja sudah bisa dianggap sangat mahal. Makanya, cicilan KPR yang normal di Indonesia biasanya sekitar sepertiga penghasilan bulanan dengan jangka waktunya angsuran sekitar 15 tahun. Di China, orang bisa menghabiskan separuh penghasilan bulanan untuk membayar cicilan KPR. Tenor pinjamannya juga bisa mencapai 25 tahun dan 30 tahun. Jangan salah, porsi dan tenor cicilan sepanjang itu sudah biasa buat perbankan China. Sebab, dengan harga rumah yang selangit, tidak akan ada yang mampu mencicil jika tenor cuma 10 tahun atau 15 tahun. Fenomena fang nu sesungguhnya lahir dari kebijakan Pemerintah China sendiri. Tahun 1998, Perdana Menteri Zhu Rongji memprivatisasi lahan milik negara. Di China, awalnya pemerintah memonopoli kepemilikan tanah dan membangun banyak rumah dan flat murah. Zhu lantas memutuskan melepas kepemilikan tanah negara di banyak tempat. Sebabnya, pemerintah tak mampu terus-menerus membangun rumah dan flat murah. Arus urbanisasi atau perpindahan penduduk dari desa ke kota di China sangat deras. Dari 1998 sampai 2011 saja, sudah lebih dari 250 juta orang yang pindah ke kota-kota besar di China, yang kondang disebut sebagai tier one cities. Ini merupakan arus urbanisasi terbesar di dunia. Dengan kebijakan privatisasi, pemerintah lantas menempatkan beban terbesar kewajiban pembangunan hunian murah ke pengembang. Untuk setiap pengembangan, pemerintah mewajibkan pengembang membangun jing ji shi yong fang, semacam rumah sehat sederhana (RSh) di Indonesia. Pemerintah sendiri masih membangun rumah dan flat yang disebut lian zu fang atau hunian bertarif sewa yang rendah tapi dengan jumlah yang terbatas. Untuk membuka askes kepemilikan rumah buat rakyat banyak, Bank Rakyat China, bank sentral Negeri Tembok Raksasa yang tidak independen dan berada di bawah kendali pemerintah, melonggarkan aturan pemberian kredit perumahan tahun 2003. Bank sentral juga menjaga tingkat bunga KPR selalu di level yang terjangkau. Pembelian rumah dan apartemen dengan KPR pun marak. Ujungnya, banyak orang yang sudah memiliki rumah mulai membeli hunian kedua untuk tujuan investasi. Aksi spekulasi ini tak pelak membuat harga rumah melambung. Menurut kajian Institute of Real Estate Studies Universitas Tsinghua di Beijing, harga rumah di Beijing, Shanghai, dan kota-kota tier one lainnya melonjak rata-rata 600% dari 2003 sampai 2010. Artinya, harga naik hampir dua kali lipat setiap tahun. Pemerintah lantas mengetatkan aksi spekulasi properti. Mulai 2010, pemerintah meluncurkan berbagai kebijakan, antara lain bank sentral menaikkan uang muka atau down payment (DP) untuk KPR pertama menjad 30% dari semula 20% dari harga jual. Bank sentral juga menetapkan kewajiban DP sebesar 60% untuk pembelian rumah kedua dan bunga KPR yang lebih tinggi buat rumah kedua. Pemerintah juga mengenakan pajak properti untuk pertama kalinya di Shanghai dan Chongqing serta menetapkan batasan kepemilikan rumah di 40 kota. Kota hantu Sampai di sini, kelihatannya sektor properti China akan baik-baik saja. Cuma, harga rumah sudah kadung tinggi. Masalah baru justru timbul dengan segala pembatasan kepemilikan properti. Masalah utamanya, segelintir orang memiliki banyak aset properti. Di lain pihak, ratusan juta orang harus tertatih-tatih menjadi fang nu. Hasilnya, muncul perumahan hantu, apartemen hantu dan bahkan kota hantu, yang walaupun bangunannya ada, namun sepi penghuni. Pemerintah China yang baru di bawah Perdana Menteri Li Keqiang langsung mengambil langkah tegas. Maklum, urbanisasi masih terjadi di China. Dengan laju yang sekarang, proporsi penduduk yang tinggal di kota akan terus meningkat (lihat infografis). Tanpa penataan akses kepemilikan properti, China akan memiliki kota-kota besar yang penuh dengan orang yang tak punya rumah dan kesenjangan yang tinggi. Mulai Agustus 2013 lalu, pemerintah menetapkan target pengendalian harga tahunan yang harus dilaksanakan pemerintah daerah untuk menjaga harga rumah di wilayahnya tetap stabil. Pemerintah juga berencana memperluas uji coba pajak properti ke kota-kota lain. Yang tak kalah penting, pemerintah menegakkan aturan batasan kepemilikan properti. Lewat serangkaian penangkapan, pemerintah berhasil mengungkap fenomena marga fang. Contohnya, ada fang zu zong (kepala keluarga fang), fang shu (paman), fang jie (kakak perempuan), dan fang xi (menantu perempuan). Ini bukan nama marga sebenarnya. Tapi julukan warga yang punya banyak hunian atau fang serta hukou (izin kepemilikan hunian). Semakin banyak aset propertinya, semakin tinggi pula posisinya di dalam keluarga fang. Fang zu zong terakhir yang ditangkap adalah Cheng Shaochun, Deputi Komandan Biro Keamanan Publik di Kota Jinan. Ia ditangkap karena memiliki 16 blok apartemen. Ini sama saja dia memiliki ratusan unit apartemen. Adapun Gong Aiai menjadi fang jie. Direktur bank pembangunan daerah di wilayah Shemu ini ditangkap lantaran punya 45 hunian termasuk 10 rumah mewah di Beijing yang bernilai CNY 1 miliar atau sekitar Rp 1,87 triliun. Menurut Li Qiang, broker properti di Beijing, fenomena marga fang terjadi karena korupsi dan kolusi pejabat-pejabat pemerintah dan orang-orang berduit. Mereka yang ditangkap ini cuma segelintir. Ini fenomena gunung es, katanya. Orang banyak memiliki properti karena punya uang atau koneksi dengan pejabat tinggi. Tanpa penegakan hukum dan pembangunan rumah murah serta pembentukan bank tanah oleh pemerintah, fenomena fang nu dan marga fang akan terus terjadi, kata Qiang. (KONTAN Edisi 14-20 Oktober 2013)
Posted on: Tue, 12 Nov 2013 13:59:29 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015