FPI dan privatophia Melihat sambung-menyambung pro-kon bubar atau - TopicsExpress



          

FPI dan privatophia Melihat sambung-menyambung pro-kon bubar atau tidaknya FPI di media sosial sebetulnya merupakan dua gejala dari privatophia. Istilah privatophia mungkin pertama kali dikaji oleh pakar konstitusi AS Ewan McKenzei. Ia mengembangkan teori "ruang ideal" atau eutophia yang pernah ditulis Thomas More dan dikuatkan Karl Marx dengan sebutan utophia sebagai lawan dari outophia (tempat buruk). Privatopia, menurut McKenzei adalah gejala gagalnya negara atau sebuah kota memberikan kepada publiknya akses yang sama terhadap ruang hidup. Ia menyebut robohnya negara kesejahteraan (welfare state) karena terlalu kuatnya kapiltasiasi pasar telah membuat tangan pemerintah tidak mampu mengendalikannya, maka berlaku hukum: siapa kuat dia berkuasa. Akibatnya setiap orang atau kelompok lalu mencari selamat bagi kepentingan masing-masing. Yang kemudian berlaku proses privatisasi ruang (privatophia) sebagai bagian dari klaim atau perlindungan diri. Proses ini berlangsung dengan atau tanpa keterlibatan pemerintah. Ini misalnya muncul di wilayah sosial muncul jenis perumahan elit versus miskin, kawasan bisnis vs kawasan kumuh, kawasan putih vs kawasan hitam. Di sektor ekonomi berlaku kapitalisai ruang publik menjadi mall, jalan menjadi parkiran liar, pasar menjadi tempat bertemunya pembeli dan preman. Sementara secara politik mudah terjadi pengkaflingan dengan dapil nya partai A, B, C, wilayah kekuasaan x atau Z. Lebih lanjut McKenzei mengatakan bahwa ruang pribadi itu lalu bergerak kepada isolasi dan eliminasi sosial menyeluruh. Hilangnya jaminan dari negara kepada publik di bidang social-economic-politic membuat publik kemudian mengisolasi dirinya dari kelompok-kelompok lainnya. Terjadilah putaran balik (u-turn) dari apa yang dicita-citakan sebuah kota atau negara; merapatnya individualisme dan menyebarnya virus intoleransi. Di sini ruang kemudian bergerak ke dalam konsep kewilayahan, dari sesuatu yang real (nyata) kepada realitas (kenyataan). Ruang sebagai pikiran pun kemudian dianggap dapat diprivatisasi. Bahwa misalnya seolah-olah mengambil contoh ke Jakarta, di Jakarta Timur adalah kekuasaan basis Islam tradisional, Selatan milik birokrat netralis, di Pusat adalah kaum moderat, di Utara adalah nasionalis, sementara Barat dikuasai kaum China kapitalis. Meledaknya privatophia ini lebih lanjut bergerak kepada privatisasi ruang kepercayaan dan keyakinan. Ini karena dalam kegamangan akibat pubik tidak dapat menempatkan identitasnya dalam arus besar privatisasi maka mereka membuat sendiri ruang privatenya berdasarkan: keyakinan-keyakinan atau kesamaan-kesamaan yang sempit. Keyakinan pun pada gilirannya akan kena dikavling-kavling sesuai prasangka dan praduga dalam rangka mengisolasi diri mereka dari kenyataan. Ada kelompok kesukuan atau kesamaan kota asal, muncul kelompok sehobi, sealiran kepercayaan, agama, madzab atau kese-penyimpangan seperti kelompok gay, lesbi homoseksual, transeksuali dst. Maka munculnya Front Pembela Islam, dan aneka grup-grup lainnya secara sederhana dapat kita katakan sebagai konsekuensi dari melemahnya negara terhadap pasar. Yang menimbulkan kegelisahan sosial akibat hilangnya negara menjaminkan social welfare kepada warga negaranya. Sehingga masing-masing mencari selamat dengan memprivatisasi ruang hidupnya dalam kavling-kavling kepentingan. Serta lebih jauh mengisolasi diri mereka dalam keyakinan dan pikirannya sendiri-sendiri. Bila kelompok seperti FPI menjalankan praktik brutal dan anarki, itu pun mudah difahami; karena orang yang terisolasi dalam pikirannya cenderung berlaku destruktif, depresif, karena tekanan ruang dan kekuasaan yang semakin menyempit. Keterisolasian selalu akan merendahkan keyakinan (faith) pada tempat dogmatis yang paling buruk dan pada akhirnya hilangnya kepercayaan (belief) untuk menggunakan jalan logika. Untuk itu kita tidak perlu merisaukan FPI justru sebaliknya kita harus kasihan. (Andi Hakim)
Posted on: Wed, 24 Jul 2013 05:26:20 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015