Maroko.... Keindahan Islam di ufuk Barat Tanah Maroko telah - TopicsExpress



          

Maroko.... Keindahan Islam di ufuk Barat Tanah Maroko telah menjadi Islam lebih dari 13 abad lalu. Kitab Al-Jurumiah dan Ibnu Batutah berasal dari sini. Negeri maghribi (bahasa Arab: barat), itulah julukan Maroko. Negeri yang terletak di Afrika ini memang berada paling pojok di benua hitam itu, berbatasan langsung dengan samudera atlantik. Penyebutan Maghribi berdasar pada paradigma Arab, karena Maroko termasuk daerah Islam Afrika yang beretnis mayoritas Arab sebagaimana Mesir, Libya, dan Aljazair. Orang Turki mengenal Maroko dengan nama Fez, sementara orang Persia mengenalnya dengan nama ‘Marrakech’ yang berarti Tanah Tuhan. Dalam dunia Islam, Maroko adalah sosok penting. Negeri ini menjadi gerbang penyebaran Islam ke Eropa lewat Spanyol- negara yang tepat berada di atas Maroko. Kita tentu mengenal ekspansi yang dilakukan ‘Thariq Bin Ziyad’ ke tanah ‘Raul Gonzalez’ itu dalam sebuah peristiwa heroik yang dikenang sejarah. Waktu itu, Thariq membakar kapal-kapal pasukannya sendiri sehabis mendarat di Spanyol guna menundukkan penguasa yang lalim. Itulah cara Thariq membangkitkan patriotisme tentaranya, seraya menyiratkan perkataan bahwa tak ada jalan pulang dalam jihad selain memenangkan pertempuran. Pasukan Islam terbakar semangatnya hingga pertempuran bisa mereka menangkan. Untuk mengenang peristiwa itu, bukit di daratan Spanyol dimana Thariq mendarat dinamai Jabal Thariq- yang dalam logat Eropa menjadi Gibraltar. Bagi Muslim Indonesia, Maroko setidaknya dikenal melalui dua nama: Kitab ‘Al-Jurumiah’ dan ‘Ibnu Batutah’. Yang pertama tentulah tidak asing bagi dunia pesantren di Indonesia karena kitab ‘Al-Jurumiah’ yang berisi kaidah dasar tata bahasa Arab (ilmu Nahyu) diajarkan turun-temurun sejak dahulu. Kitab tipis yang menjadi hafalan wajib santri-santri pemula itu merupakan karangan seorang ulama Maroko bernama ‘Muhammad Shonhaji. Sedang Ibnu Batutah adalah pengembara sekaligus sosiolog muslim kelas satu yang juga berasal dari Maroko. Di era modern sekarang, Maroko, yang memberi fasilitas bebas visa bagi warga Indonesia, kita kenal lewat dunia pemikiran Islam melalui ‘Fatima Mernissi’ di bidang kajian perempuan dan ‘Abed Al-Jabiri’ di bidang tradisi Islam (‘turats’) dan kemodernan. Hal ini menjadi bukti bahwa Maroko memiliki tradisi ilmiah yang baik. Ini tentu sangatlah positif karena tradisi itu mendongkrak kemajuan Islam secara umum. Dari 35 juta penduduk Maroko, 99 persennya adalah muslim. Gudang Ulama ________________ Satu lagi kekhasan Maroko yang lain adalah Tarekat Tijaniah yang didirikan ‘Syaikh Ahmad Tijani’. Ia merupakan salah seorang sufi asal Maroko yang makamnya terletak di kota Fes. Tarekat ini telah menyebar ke dunia, termasuk Indonesia. Syaikh Ahmad Tijani, konon, mendapat bimbingan langsung dari Nabi Muhammad SAW. Jejak keilmuan di Maroko juga ada pada diri Ibnu Al-Arabi, ahli fiqih terkemuka pada zamannya, yang terkenal dengan kitabnya ‘Ahkam Al-Quran’. Saat ini, kitab ‘Ahkam Al-Quran’ menjadi salah satu rujukan terpenting para mahasiswa pengkaji Ulumul Quran dan Fiqh. Juga ada ‘Imam As-Sholih Abu Zaid bin Abdurrahman bin Ali bin Sholih Al-Makudy’ atau dikenal dengan Imam Al-Makudy, pengarang kitab ‘Al-Makudy’, syarah dari ‘Khaisyah Ibnu Hamdun’. Beliaulah ulama pertama yang menulis syarah kitab Alfiyahnya Ibnu Malik. Catatan ilmu ini berjalan seiring dengan gairah keberaagamaan masyarakat Maroko yang sangat baik, apalagi jika dibandingkan dengan Tunisia dan Aljazair, dua negara tetangga yang menganut sekularisme. Masyarakat Maroko dapat mengekspresikan keberaagamaannya dengan tenang, karena Raja Maroko menjamin itu. Beda sekali dengan Tunisia dan Aljazair, dua negara Islam yang justru takut dengan keberislaman warganya. Di Rabat, ibukota Maroko, biasa ditemui orang shalat di tengah ruangan terbuka, seperti di taman dengan beralaskan rumput. Muslimah Maroko juga sebagian besar mengenakan jilbab hingga suasana islami sejuk terasa. Di dalam angkutan umum banyak pula ditemui orang bersantai sambil membaca Al-Qur’an. Wakil Presiden ‘Yusuf Kalla’ memiliki pengalaman yang membuktikan bahwa orang Maroko memang taat menjalankan ibadah. Ceritanya, seperti dikutip kantor berita Antara’, saat mengunjungi Madrid, Spanyol, dalam lawatan ke Amerika Serikat ia mencari kedah kopi untuk melepas lelah bersama rombongan. Kebetulan saat itu sore hari di bulan Ramadhan. Setiba di kafe, rombongan Wapres dilayani seorang pelayan asal Maroko, bernama Hamad. Singkat cerita, mengetahui Wapres seorang Muslim, Hamad mengomel dan bertanya, ‘kenapa tidak berpuasa?’ Meskipun dijelaskan bahwa rombongan tak berpuasa karena sedang menjadi musafir, Hamad tetap saja menasihati. Bagi Hamad, alasan menjadi musafir karena sedang dalam perjalanan dari Chicago ke Madrid bukanlah alasan yang logis untuk tidak berpuasa. Bagi Hamad, perjalanan menggunakan pesawat terbang, yang hanya duduk saja, bukan alasan yang tepat, karena tak ada kesulitan apa pun. Setelah sedikit berdebat, akhirnya rombongan Wapres mendapat kopi setelah lebih dahulu berjanji bahwa besok hari akan berpuasa. Demikianlah, Islam seperti memeluk erat warga Maroko karena anak-anak muda Maroko juga diberitakan giat mengaji Al-Qur’an dan menekuni ilmu-ilmu agama. Kajian-kajian ilmiah keagamaan juga terbuka lebar di Maroko. Universitas Islam berkembang baik dan mengundang siapa saja yang ingin mempelajari Islam seluas-luasnya. Beberapa mahasiswa Indonesia tercatat turut belajar di Maroko yang tersebar di beberapa Universitas, seperti Universitas Malik Sa’di, di Tetouan-kota kelahiran Ibnu Batutah, 294 km dari Rabat, dan Universitas Qurawiyyin, salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di dunia yang berdiri sejak tahun 857 Masehi. Universitas Qurawiyyin memiliki empat kampus yang tersebar di empat kota. Kampus utama berada di kota Fes, kota ulama dan kota pelajar Maroko, berjarak sekitar 198 km timur Rabat. Kampus Fes berdekatan dengan makan Syaikh Muhammad Shonhaji. Sebagian mahasiswa Indonesia juga belajar di Universitas Muhammad V dan Hasaniyyah di Rabat, dua kampus yang cukup bergengsi. Di kampus Universitas Muhammad V itulah terdapat para pemikir Islam yang sudah mendunia di masa sekarang ini, yakni Fatima Mernissi, Abdel Al Jabiri dan ‘Ahmed Raisuni. Gedung kampus Universitas Muhammad V bertebaran di kota Rabat. Salah satunya di kawasan Agdal, yang dikenal dengan julukan ‘Madinatul Irfan’ atau kota ilmu pengetahuan. Gairah keislaman itu ternyata tak menghalangi masyarakat Maroko untuk hidup modern. Mereka memiliki budaya ‘hang out’ di kafe-kafe yang menjamur di kota-kota besar di Maroko. Dari kafe-kafe itulah geliat modernitas kehidupan di Maroko terepresentasi. Masjid-masjid dibangun dengan megah, begitu pula sarana hotel, gedung perkantoran, serta sarana-sarana ekonomi. Keberagaman masyarakat Maroko berjalan dengan baik seiring dengan aktivitas perdagangan dan ekonominya. Saat ini Maroko malahan menjadi surga bagi para sineas dunia yang ingin memproduksi film di sana. Film ‘Babel’ yang mendapat nominasi Oscar tahun 2006, 60 persen syutingnya dilakukan di Maroko. Ini masih ditambah dengan beberapa judul lain seperti Charlie Wilson’s War, Rendition, In the Valley of Elah, Black Hawk Down, dan Kingdom of Heaven, yang membuat Maroko tak ubahnya Los Angeles-nya Afrika. Pasca 11 September, sebagian besar film AS banyak yang berkaitan dengan dunia Arab. Maroko dipilih karena dinilai sangat representatif menggambarkan setting Arab namun sangat aman dengan warga yang sangat toleran dan ramah. Menurut ‘Musthafa Abdul Rahman’, potret itu adalah keberhasilan sistem monarki di Maroko yang telah menjadikan Islam dan modernitas berjalan seiring. Islam dan kemodernan (Barat) berpadu harmonis dalam kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan politik, di Maroko. Dalam konteks sosial budaya, nilai-nilai pluralisme dalam kehidupan yang menjadi salah satu sendi peradaban modern terpatri cukup kokoh. Salah satu kasus adalah masalah kaum Yahudi Maroko yang kini hidup sangat aman dan nyaman di Maroko. Raja Maroko berkomitmen melindungi komunitas Yahudi di negara itu. Kini ada sekitar 7.000 warga Yahudi di Maroko. Salah seorang penasihat Raja bahkan berasal dari Yahudi. Sebagian warga Yahudi kini berdomisili di Casablanca. Menurut penuturan salah seorang anggota staf KBRI Rabat, warga Yahudi dari mancanegara, khususnya dari Israel, rajin berziarah ke kuburan mendiang Raja Muhammad V di Rabat. Raja Muhammad V dikenal sebagai pelindung yang gigih kaum Yahudi di Maroko. Warga Yahudi dengan pakaian tradisionalnya yang hitam-hitam tampak tidak canggung sama sekali berjalan bersama warga Arab, seakan jalanan di Maroko adalah jalanan di Tel Aviv. Memang pernah terjadi pembantaian kaum Yahudi di Fez tahun 1033 dan di Marrakech tahun 1232, tetapi kaum Yahudi mendapatkan perlakuan yang sama sejak masa protektorat Perancis pada tahun 1912. Hal ini cukup spesial karena Maroko kini adalah Ketua Komite Al Quds (Jerusalem) sebuah lembaga yang bertugas memelihara dan melindungi kota Al Quds dari aksi Yahudinisasi. Komite Al Quds merupakan salah satu badan otonom dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI).
Posted on: Sun, 29 Sep 2013 13:12:40 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015