Relung Telinga Cerpen: Kurnia Effendi Sumber: Koran Tempo, - TopicsExpress



          

Relung Telinga Cerpen: Kurnia Effendi Sumber: Koran Tempo, Edisi 09/29/2002 DI relung telingamu, pernah kubisikkan kata-kata: Percayalah, aku akan selalu mencintaimu. Kemudian kutidurkan tubuhmu dengan kasih-sayang, juga kutiduri tubuhmu penuh kasih-sayang. Kelembutan warna kamar, wangi sayup sedap malam, dan remang cahaya yang menawarkan candu asmara, membuat waktu terasa panjang. Kita bercinta seperti abad yang diseret perlahan, menuntaskan titik peluh di sekujur pori. Sesudah itu, berkali-kali kubisikkan di relung telingamu: Aku tak akan pernah melupakanmu. Hampir aku menyebutmu Bunga, karena kutemukan dirimu di tengah lanskap taman yang asri. Mungkin bintangmu aquarius, selalu karib dengan guci di tangan, berjalan sabar di antara perdu dan pohon kembang, menyiramkan air seperti memberi minum anak-anaknya. Namun hampir pula kupanggil dirimu Bulan, sebab ada kemiripan antara wajahmu dengan bundar purnama. Kau mudah tersenyum, bahkan oleh lelucon sederhana. Pernah juga kubayangkan dirimu Gula, setelah berulangkali kuhisap manis rasa bibirmu. Engkau sedikit tersengal. Tampak dadamu naik-turun seperti ombak. Sesudahnya, kauhela nafas panjang dengan mata terpejam, dengan bulu mata bergetar. Apakah kausimpan janjiku dalam relung telingamu? Aku menyediakan hidupku untukmu. Aku mencintaimu dan bekerja keras dengan perasaan riang. Jiwaku melepuh oleh cinta, dan seluruh hari yang kulalui adalah nyanyian. Rindu yang tak habis terperas. Kasih-sayang yang tak terhalang keterbatasan rahimmu. Melalui rangkaian pemeriksaan yang berlarut-larut, akhirnya inilah keputusan dokter: tak akan menetas seorang bayi melalui persetubuhan kita. Bisa jadi, ada harapan yang tercerabut. Tapi, untaian malam yang berhias cahaya ranum lampu temaram, ikut mendengar selarik bisik dari bibirku, memasuki relung telingamu: Sampai kapan pun aku terus mencintaimu. Itulah yang ingin kupatuhi bertahun-tahun. Engkau Bunga, Bulan, sekaligus Gula dalam hidupku. Impian panjang berlarat-larat, wangi hari yang terulur dari sumber fajar, mata-air sungai yang mengalir menempuh tubuh benua. Begitu ringan langkah kuayun, dilepas tatapan matamu dari ambang pintu setiap pagi. Begitu lekas sore merapat, jiwaku terhisap untuk pulang, dijemput rindu di lereng beranda. Aku abai terhadap apa pun yang terjadi sepanjang siang. Mendulang madu atau racun, menampung susu atau airmata. Namun senja ini, saat hujan ditabur mengakhiri kemarau yang jumawa, sesuatu berkelebat di fokus mataku. Kucium harum parfum yang tak sengaja singgah, dari leher jenjang yang terbuka, pada papasan singkat di tengah kafé. Bagai ada tarikan seksama pada kepalaku untuk menoleh ke arahnya. Kulihat sepintas lambaian scarf yang terjuntai ke punggung. Betis langsing berwarna duku. Sepatu bertumit tinggi yang melangkah ritmis. Kilau polesan jingga pada kuku kelingking. Dan sesudahnya tak pernah kukenali wajah pemilik tubuh semampai itu. Bisa saja kuurungkan niat untuk keluar dari kafé: toh hujan yang mengguyur di luar cukup kuat menjadi alasan. Trotoar di depan berangsur basah. Langit kehilangan warna biru. Angin seolah-olah ditambah kecepatannya oleh tangan gaib dari ujung perempatan jalan. Tentu saja, jika aku nekad melangkah keluar dengan sisa rasa kopi di lidah, hujan tak akan memilih tempat jatuh di luar tubuhku. Senja terasa semakin kusam oleh gelap awan, dan lampu jalan mulai menyala seperti kerlip bintang yang tersesat. Di saat yang sama, aku teringat dirimu. Terngiang kata-kata yang kubisikkan di relung telingamu. Aku akan selalu mencintaimu. Setiap huruf menjadi tekstur pada lidahku. Perasaan bimbang menyergap. Apakah salah, jika tiba-tiba kuterima rangsang dari perempuan lain, setelah lima tahun demikian setia? Tak seorang pun sanggup memerangkapku, kecuali dirimu. Kecuali… seseorang yang baru saja melintas. Aku menahan langkah tepat di depan pintu. Gerimis cukup pekat, seperti anak panah halus yang dilepas ke alam raya setelah lama terhimpun dalam gundukan busur awan. Lincah berhamburan ke atas aspal, menumbuhkan kabut samar di permukaannya. Dan bau apak debu yang tersiram menebar ke udara, tercium dari celah pintu. Suhu panas hotmix yang terpanggang sepanjang siang, terempas dan kuyu. Serupa perasaanku. Tanganku menyentuh pintu, dan terkejut sewaktu daun pintu itu terbuka karena seseorang menyeruak masuk. Ia laki-laki yang sebagian kemejanya basah. Bisa jadi, semenit yang lalu dia melompat-lompat di atas trotoar. Mencari tempat berteduh. Dan café ini menjadi pilihan. Sementara aku bermaksud meninggalkannya, menembus hujan. Aku memberi jalan kepada laki-laki yang mengenakan dasi. Butir air bergantungan di ujung-ujung rambutnya. Ia tersenyum bersahabat. Senyum yang sanggup meruntuhkan jantung perempuan. Apakah kedatangannya karena menghindari percik air, atau oleh sebuah janji? Janji bertemu di sebuah resto yang nyaris padat, bukan hal mustahil. Selepas jam kantor, di ujung bentang hari, dan mungkin bagian dari kencan berkala. Dengan perempuan itukah ia hendak berjumpa? Ada debar yang mendadak sibuk di dada. Meskipun kemungkinan itu satu berbanding jumlah pengunjung. Adakalanya, peruntungan datang tidak pada waktu yang senggang. Sekali ini ingin kupertaruhkan seluruh intuisi. Namun terlintas di saat yang sama, janjiku di relung telingamu: Percayalah, aku tak akan pernah melupakanmu. Kumaki diriku sendiri. Ternyata kesetiaan membuatku terpenjara. Mataku mulai panas. Perasaanku terpilin oleh beban duka dan kehilangan. Alangkah mudahnya aku tergoda seruap aroma parfum yang melintas dari leher terbuka. Begitu sulit ditepiskan. Bahkan meresap ke paru-paru. Harum itu merembes ke setiap celah tulang rawan. Aku berusaha keras menukarnya dengan wangi rambutmu sehabis berkeramas. Lima tahun aku setia kepadamu. Lima tahun aku terbelenggu cinta. Sampai sore yang kuanggap bedebah ini datang. Aku, bahkan, tak melihat wajahnya! Yang melintas hampir tanpa jarak, namun luput dari kerling mata. Hanya scarf yang melayang di balik punggungnya. Kulihat dari kaca jendela, kilat membelah langit mendung. Setengah gila aku disergap bimbang: tetap di kafé atau melangkah ke jalan raya yang basah? Akhirnya kumenangkan pertarungan itu dengan cara mengayunkan kaki ke luar pintu. Rasanya belum sempurna bidang kayu pinus itu menutup kembali, ketika ada suara memanggil. Aku menoleh dengan kecepatan tak terukur begitu mengenali suara perempuan. Warna scarf yang menggantung di bahunya tak bisa kupungkiri, dia pasti wanita yang berusaha menyingkirkan kesetiaanku. Langkahku terhenti dan menunggu. Tapi sebelum jelas kulihat wajahnya, ia telah masuk kembali. Refleks kuraba saku baju dan celana. Adakah sesuatu tertinggal? Hand phone, pulpen, kacamata, saputangan, sisir, dompet, rokok, … ah, ya! Korek api! Apakah cukup berharga jika kubalik arah demi mengambil korek api senilai lima ribu rupiah? Apakah perempuan dengan scarf ungu itu memanggilku dan bermaksud mengembalikan korek api? Kukira sang tokoh dalam film Another Nine and Half Weeks, jadi sakit juga akibat sebuah scarf milik seseorang di masa lalu. Ini pasti ilusi! Ini pasti sebuah ikhtiar untuk membuatku lupa padamu. Ini godaan picisan yang tak sebanding dengan cintaku padamu. Percayalah, aku tetap mencintaimu! Lihat, bagaimana aku berlari pulang ke arahmu. Dalam derai gerimis, melompat-lompat di atas teracotta. Menyalip-nyalip di antara deretan mobil yang gelisah dalam antrian traffic jam. Mereka nyaris tak bergerak, dengan kap mesin menguapkan selapis fatamorgana. Suara klakson mulai menyalak di sana-sini. Aku teringat awal film Prince of Tide. Layar lebar yang mampat oleh warna-warna punggung mobil. Ya, hujan yang turun mendadak membuat seluruh pengendara tidak siap. Di emper toko, kakilima yang tempias, berdiri orang-orang yang enggan basah. Kulewati mereka dengan gegas, karena ingin segera berada di sampingmu. Ingin segera meremas tanganmu. Mungkin mencium pipimu yang masih hangat. Membisikkan kembali ke relung telingamu: Aku selalu mencintaimu. Sekalipun sia-sia. Namun dalam kondisi seperti ini, amat sulit mendapatkan taxi. Di mana-mana mobil antri. Sopir taxi akan berpikir seratus kali untuk mengangkut penumpang. Kecuali yang sudah terjebak dan tergenang dalam lautan kendaraan. Aku merasa terapung-apung di antara mereka. Menerobos kerumunan. Melesat di bawah curah rinai air. Aku harus terus berlari, dengan iringan rasa cemas. Aku telah cukup lama meninggalkanmu. Dan hampir mengkhianatimu. Biasanya, sebelum matahari terbenam aku telah sampai pada pelukanmu. Aku menyesal telah berjalan terlalu jauh. Sungguh, itu semata karena aku tidak tahu harus melakukan apa. Andaikan kau melihat langkahku yang terhuyung di awal hari, meninggalkan rumah dengan airmata memenuhi pipi... Hujan mengalir tipis dari langit yang merambat gelap. Aku masih saja tergoda oleh harum parfum di lehernya. Seperti apa wajahnya, tak pernah sanggup kubayangkan. Rambut diikat dan dilipat ke atas, sehingga jenjang lehernya terbuka. Gemulai scarf demikian lembut tergantung di bahunya. Mungkinkah ia mirip Wanda Hamidah atau Reza Artamevia? Atau Penelope Cruz? Atau bukan ketiga-tiganya? Desir halus membuatku terjaga dari pengkhianatan. Tinggal dua ratus meter letak pintu rumah kita. Aku terus berlari dalam gerimis pekat. Tubuhku mulai menggigil oleh dua hal. Dingin air hujan, dan rasa sesal karena meninggalkanmu sendiri. Nafasku terengah dengan degup jantung yang lekas. Maafkan aku, maafkan aku. Ini tak pantas untukmu. Tentu saja. Karena kepergianku disebabkan peristiwa yang tak terduga. Dadaku terasa mau pecah mengingat ini semua. Entah siapa yang mulai main sembunyi, sampai seluruh rahasia terungkap dini hari. Tersungkur aku di teras. Tapi tak mungkin memanggilmu dari ambang beranda. Kumasuki pintu rumah dengan dua putaran kunci. Lampu yang menyala membuat ruang tamu jadi benderang. Aku menuju sofa tempat engkau berbaring: masih seperti ketika kutinggalkan pagi tadi. Telentang dengan paras pucat dan mata terkatup. Entah harus kupanggil apa dirimu saat ini. Bunga layu? Bulan pucat? Gula getir? Airmataku menderas, membaur dengan sisa hujan yang membasahi sejak rambut hingga ujung kaki. Aku berlutut di sisimu dengan tubuh gemetar. Menyentuh pipimu, lenganmu, dadamu, meremas jari-jarimu yang mulai kaku. Ada yang tak kumengerti dari akhir hidupmu. Entah siapa yang mulai main sembunyi. Sesuatu telah merenggutmu dariku dengan cara telengas melalui bagian tubuhmu yang paling ringkih. Luput dari pengetahuanku. Sebab sepanjang lima tahun aku setia padamu, dan menganggap aliran hari adalah nyanyian yang tak pernah putus. Ingin kuusir kenyataan. Namun dalam pelarianku yang penuh duka lara, seorang perempuan tak dikenal nyaris membuat perasaanku berubah. Maafkan aku. Tanpa suara aku terisak. Dengan gamang kurapikan helai rambutmu yang masai menutup pipi. Memandang relung telingamu, mengingatkan pada film Blue Velvet. Seorang pemuda menemukan sepotong telinga yang mulai dikunjungi semut, di halaman rumput rumah tetangga. Tentu saja aku bukan pemuda itu, yang tatapan matanya memasuki rongga telinga. Aku kekasihmu, belahan jiwamu, yang pernah membisikkan janji setia pada liang rawan itu. Kini aku menunggu kemungkinan lirih gaung suaraku keluar lagi. Karena tak menemukan rongga yang hangat dan penuh denyut untuk menetap. Aku terus menunggu. Berlarut-larut. Sampai akhirnya kudekatkan wajahku, mencium relung telingamu yang dingin dan mulai menerbitkan aroma aneh. Berbisik untuk yang terakhir kali: Aku akan selalu mencintaimu, dan tak akan pernah melupakanmu. ***
Posted on: Mon, 07 Oct 2013 12:38:51 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015