Untuk Dia, Serpihan Rasa Tanpa Berujung “bercanda dengan - TopicsExpress



          

Untuk Dia, Serpihan Rasa Tanpa Berujung “bercanda dengan potongan hati berisi kenangan” ~~~~~~~~~~~~~~ “itu hanya candaan diantara kita, yang tak pernah bisa wujudkan mimpi sejak remaja, bahkan hingga bertahun-tahun kemudian” ~~~~~~~~~~~~~~ “lepaskan saja keping hati yang tak mau lagi menjadi bagian dari keping hati kita, biarkan keping itu mencari belahan hati lain yang disangkanya lebih baik…ada saatnya nanti keping itu merasa bahwa belahan hati yang kita punya adalah yang terbaik buatnya” ~~~~~~~~~~~~~~ “Bagaimana bisa kuselesaikan draft yang lama terbengkelai, bila bayangan wajahmu memenuhi lebarnya layar monitorku?” keluhmu tiba-tiba. Lembaran ribuan kumal bergambar pahlawan Maluku kau lambai-lambaikan tanpa tenaga. ~~~~~~~~~~~~~~ “Dan tanpa kau sadari, luka lama yang terkubur di palung hati kini kembali berurai darah. Bahkan sakitnya melebihi saat pertama kali sembilu itu kau hunjamkan.” ~~~~~~~~~~~~~~ “Tidak untuk kali ini. Serpih hati yang pernah terserak itu takkan kupungut lagi. Biarlah tetap menjadi puing. Sekuat apapun usahaku menjalinnya, akan ada goresan luka yang tak pernah benar-benar pulih seperti semula. Kali ini, tak ada setetes pun air mata, juga sedu sedan penanda kesedihan.” ~~~~~~~~~~~~~~ “Senja tak lagi mampu menyimpan serpih yang kubiarkan berserak. Tikaman sembilu itu tak bisa benar-benar sempurna kusembuhkan. Masih tersisa segores luka memanjang, tak menyatu. Seakan menjadi penanda, bila pernah ada kisah tentang romansa. Cerita tentang dua rasa yang tak ketemu dimana ujungnya.” ~~~~~~~~~~~~~~ “Gie, hanya itu yang mampu terucap.” =======oOo======= Coretan-coretan tanpa makna itu kutemukan tertulis rapi di lembar kertas bekas. Meskipun terlihat seperti asal menulis, tetapi ada sesuatu yang coba diungkapkannya, entah untuk siapa. Gie? Siapa dia? Seumur-umur aku tak pernah mendengarnya menyebut nama itu. Menceritakannya pun juga tidak. Lalu, kenapa ia menyebut nama itu akhir-akhir ini? Berbagai pertanyaan itu berkecamuk di kepalaku ketika kubereskan meja kerjanya. Meja yang dipenuhi kertas-kertas yang berserakan, potongan foto yang disusunnya menjadi mozaik, nota pembelian keping CD, naskah novel yang belum selesai dijilid dan masih banyak lagi. Aku tahu dia akan marah nanti, mendapati meja kerjanya menjadi bersih dan tertata rapi. “Marliana, adakah sesuatu di hatimu yang berubah tanpa kusadari sebelumnya?” gumamku penuh sesal. ================ Beberapa bulan belakangan ini, Lian senang sekali menghabiskan waktunya di depan komputer. Selama ini aku tak pernah mempermasalahkan kegemarannya itu, karena Lian sangat pandai membagi waktu. Setelah semua pekerjaan rumah beres, barulah ia berlama-lama di depan komputer. Sejak pertama kali mengenalnya aku sudah tahu kalau Lian suka membaca. Dulu, ia betah berjam-jam nongkrong di perpustakaan hanya untuk membaca buku-buku fiksi yang banyak tersedia di sana. Bukan hanya sekali atau dua kali kencan kami terganggu karena keasyikannya itu. “Lian, bukankah kita mau nonton?” tegurku. Kusentuh bahunya perlahan, takut mengejutkannya. “Eh, iyaa…. maaf,” katanya tergagap. Ia buru-buru mengembalikan buku yang dibacanya ke rak, lalu beranjak mengikutiku. Di parkiran motor, Lian memandangiku dengan rasa bersalah di sorot matanya. “Lian” kugenggam tangannya penuh maaf. Tanpa diminta, aku akan dengan senang hati memaafkannya. Ini kali yang ke sekian, entah, aku tak pernah menghitungnya lagi. Untuk apa? Siang itu kulewatkan dengan mengendarai motor memboncengkan Marliana, menyusuri jalanan kota yang berdebu. Musim pancaroba kali ini terasa lebih lembab, meskipun debu yang beterbangan menyesakkan dada bila terhisap. Lian melekat erat di punggungku, ia menyurukkan wajahnya di antara belikatku. Tangan kanannya melingkar di pinggangku sementara tangan kirinya dipakainya menutupi wajahnya karena silau. “Kita mau ke mana mas?” tanyanya. Sejak tadi aku membiarkan pikiranku melayang tak tentu arah. Untung saja jalanan kali ini tak terlalu ramai, caraku mengendarai motor sudah mirip orang mabuk. Sempoyongan. “Oh…eeh… Yaa, jalan aja. Sekedar membuang kekecewaan,” jawabku asal-asalan tanpa menoleh. Aku masih melajukan motorku mengarah ke pinggiran. Tak kuminta persetujuan Lian seperti biasanya. Kali ini aku menuju ke tambak yang beberapa hari lalu kukunjungi sendirian. Lian duduk membeku di belakangku. Rasa bersalah menahan lidahnya untuk membantah kemauanku. Mungkin. Hanya dua puluh menit, tambak yang kutuju sudah ada di depan mata. Kuhamparkan koran bekas yang tadi kucomot di meja bu Arin, dosen Bahasa Perancisku. Kutepuk-tepuk pelan, isyarat agar Lian mau duduk di sebelahku. Itu caraku meredam kemarahan dan kekecewaan akan sikap Marliana, tanpa harus bicara keras-keras, marah-marah tak karuan apalagi sampai memaki-maki perempuan yang sangat kusayangi ini. Buat apa? Hanya akan menambah sakit hati setelah pertengkaran ini mereda. ================ Hingga hari ini, tahun ke sepuluh kebersamaan kami, Marliana masih setia mendampingiku. Ia masih tetap seperti dulu ketika pertama kali menikahinya. Bangun pagi-pagi, menyiapkan sarapan, menata keperluanku untuk ke kantor, memastikan anak-anak duduk manis di mobil jemputan, hingga menyelesaikan pekerjaan rumah tangga yang seolah tak ada habisnya. Segelas kopi yang harum mengepul sudah terhidang di meja makan, saat aku bangun. Seragam yang harus kukenakan sudah rapi tertata di atas tempat tidur yang dibereskannya selama aku mandi. “Kau tak harus melakukan semuanya ini Lian. Aku bisa menyiapkannya sendiri …,” tukasku setiap kali. Senyumnya manis terkembang, tangannya cekatan menyiapkan piring dan sendok di meja makan. Ia tak menghiraukan laranganku. “Ini ibadah untukku mas,” jawabnya selalu. Diam-diam aku selalu bersyukur dengan sikapnya tu. Aaah, Lian. Adakah yang luput dari perhatianku terhadapmu? Kekhawatiran memenuhi benakku, aku takut kehilangan Lian, perempuan belahan jiwaku. Sudah berpalingkah kau, perempuanku? Kenapa ada nama lain yang kau bisikkan tanpa pernah kuketahui dia siapa? Gie….Gie…. kepada siapa kutanyakan jati dirinya? Sehelai kertas asturo melayang turun dari tumpukan kertas yang sedang kubereskan. Kupungut dan kubaca selarik tulisan di dalamnya. “Untuk Dia, Serpihan Rasa Tanpa Berujung” Kertas kecil yang dijepit di ujungnya membuatku tercengang dan malu sejadi-jadinya. Coretan itu menyadarkanku, isteri terkasihku sedang menyiapkan novel terbarunya, ternyata. =======oOo======= fiksi.kompasiana
Posted on: Thu, 07 Nov 2013 11:26:49 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015