Etnis Tionghoa pun Bisa "Nyapres" Monday, 15 July 2013 Share on - TopicsExpress



          

Etnis Tionghoa pun Bisa "Nyapres" Monday, 15 July 2013 Share on facebook Share on twitter Share on email Share on print More Sharing Services 5 ilustrasi [portalkbr] Jia Xiang - Panggung politik Indonesia menjelang pemilihan umum dan pemilihan presiden tahun 2014 mulai “memanas”. Sejumlah sudah digandang-gandang bakal maju bertarung memperebutkan kursi presiden. Bagaimana peran politik etnis Tionghoa di negeri ini? Adakah etnis Tionghoa yang juga digadang-gadang sebagai calon presiden (capres) atau calon wakil presiden (cawapres)? Politisi dari Jawa Barat yang kini menjadi Anggota Komisi II DPR-RI Nu’man Abdul Hakim di sela Pesta Rakyat Pelantikan Gubenur Jawa Barat Jumat (14/6/13) memberi penilaian bahwa peran politik etnis Tionghoa kini semakin nyata. Lihat saja Basuki Cahaya Purnama alias Ahok yang kini menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta, tokoh keturunan Tionghoa yang saat ini cukup fenomenal. Apa pendapat publik soal etnis Tionghoa jika “nyapres”(mengajukan diri sebagai calon presiden maupun cawapres -red), apakah punya peluang? Bagi Nu’man, siapa saja bisa menjadi pemimpin di negeri ini, dari suku, agama, atau kelompok mana pun dia. ‘’ Siapa pun dia kalau memang mampu, peluang dan kesempatannya terbuka. Begitu juga dengan masyarakat dari etnis Tionghoa sebagai bagian komponen bangsa,” ujar Nu’man yang mengaku akrab dengan Ahok karena pernah satu komisi di DPR RI. Peran warga keturunan Tionghoa di negeri ini menurutnya sudah sangat besar. Bukan hanya di sektor ekonomi. “Di panggung politik pun kini peran mereka juga besar. Hal itu membuktikan, bahwa warga keturunan Tionghoa tidaklah termarjinalkan,” tandas Nu’man. Fakta, lanjut Nu’man, dalam pemilihan kepala daerah di DKI Jakarta, warga Jakarta memilih Ahok. “Jadi untuk kursi presiden dan wakil presiden pun bisa saja terjadi, bila memang ada tokoh dari etnis keturunan Tionghoa ingin mencalonkan diri,” tandas mantan Wakil Gubernur Jawa Barat ini. Sementara itu Wakil Ketua DPRD Jawa Barat Rudi Harsa, di tempat berbeda kepada Jia Xiang menyatakan diskriminasi sejak dulu sebenarnya tidak terjadi bagi masyarakat dari etnis mana pun di Indonesia. Sehingga bila kemudian dari warga keturunan Tionghoa ingin aktif di panggung politik Indonesia peluang itu terbuka seluas-luasnya. “Indonesia dengan dasar Pancasila dan kebhinekaanya memberi kebebasan bagi setiap warga negara untuk tampil di panggung politik,” tegas Ketua Umum DPD PDI Perjuangan Jawa Barat ini . Sebab, kata Rudi, warga keturunan Tionghoa merupakan bagian dari bangsa Indonesia. “Sebagai warga Indonersia, etnis Tionghoa harus berani menunjukkan rasa kebangsaannya,” ujar dia. Bagaimana tanggapan tokoh masyarakat dari kalangan etnis Tionghoa sendiri? “Warga keturunan Tionghoa, khususnya kalangan tua masih banyak yang trauma setelah peristiwa tahun 1965. Itu sebabnya mereka banyak memilih berbisnis,” kata tokoh tua Tionghoa Bandung, Wei Ching kepada Jia Xiang yang ditemui di Gedung Karuhun Yayasan Dana Sosial Priangan (YDSP), Minggu (16/6/13). Namun Wei Ching menyambut gembira dengan ada perubahan, khususnya setelah reformasi. “Saat ini sudah banyak warga keturunan Tionghoa terlibat aktif berpolitik,” ungkapnya. Sebab itu, lanjut Wei Ching, sudah saatnya warga keturunan Tionghoa membuang jauh-jauh rasa trauma itu untuk menghadapi kehidupan nyata sebagai rakyat Indonesia. Paradigma berfikir etnis Tionghoa sebagai komponen bangsa Indonesia banyak yang harus dibuang. Etnis Tionghoa harus mulai memberanikan diri menghadapi kenyataan, tidak cengeng apalagi galau. ‘’ Selama ini warga Tionghoa tidak percaya diri, dan sering mencari beking. Karena butuh beking terpaksa bayar. Akibatnya sering etnis Tionghoa terjebak sendiri karena bisa dimintai uang. Padahal sebagai warga negara, mereka juga bayar pajak. Pola pikir ini harus diubah,’’ ujarnya. Terjun ke dunia politik tantangannya berat. Itu sebabnya kelemahan harus dibuang, sebab peluang dan kesempatan sebagai warga negara sebenarnya sama. Wei Ching mencontohkan Ahok, Wakil Gubernur DKI Jakarta yang saat ini menghadapi banyak tantangan. Andaikan dia tidak kuat, mungkin setelah lima tahun masa jabatannya hanya akan berakhir sampai di situ saja. Apalagi jika ingin jadi presiden harus benar-benar matang segalanya. “Indonesia ini negara besar. Bermacam suku bangsa ada. Maka, lila mau jadi pemimpin nasional harus mampu merangkul semuanya. Meskipun masih ada dominasi mayoritas yang selalu menginginkan golongannya saja. Nah, mampukah menghadapi itu semua, butuh waktu untuk belajar, ‘’ tandasnya. Politisi partai Demokrat Jawa Barat, Dr. Kikit Wirianti Sugata, SH saat ditemui Jia Xiang di kediamannya di Jalan Setra Murni 14 Bandung, Minggu malam (16/6/13) menyatakan, pergaulan yang luas memberikan kemudahan dalam berpolitik. Hal itu dia rasakan selama 10 tahun ia aktif dalam dunia politik. Meskipun dia merupakan warga minoritas bahkan perempuan, namun penilaian dalam dunia pergaulan yang selama ini ia lakoninya membawa dirinya diterima di Partai Demokrat. “Saya tidak melakukan lobbi apa pun. Masuk Demokrat juga atas rekomendai pengurus pusat agar saya bisa duduk dalam kepengurusan di Jawa Barat,’’ ungkap Kikit yang menekuni profesi sebagai notaris ini. Menurutnya dalam dunia politik seseorang harus memiliki integritas, kelayakan, dan dapat dipercaya. Demikian halnya ketika ingin menjadi pemimpin nasional. Sebab menjadi presiden itu tidak mudah. Harus memiliki kriteria yang cukup. Kikit mencontohkan Amerika Serikat yang kini dipimpin Barrack Obama dari golongan kulit hitam, maka di Indonesia hal itu bukan tidak mungkin terjadi. Namun kata Kikit, bila ada warga Tionghoa yang ingin maju menjadi Capres atau Cawapres butuh proses. Mau melakukan perbaikan keadaan bangsa dengan hati, tanpa membawa kepentingan sendiri. Dan semua itu tidak bisa dilakukan dengan ngomong saja.[JX/Sas/D9]
Posted on: Tue, 08 Oct 2013 04:38:55 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015