Guys... Lagi-lagi story gaje min Ra muncul nih... Maklumin - TopicsExpress



          

Guys... Lagi-lagi story gaje min Ra muncul nih... Maklumin ya... Wkwkwkw... Hayo... silahkan dibantai -= Harukaze =- Aku berdiri menghadap monumen Ganbaku No Ko No Zo, monumen perdamaian anak di Hiroshima. Angin musim semi membelai wajah yang membias sinar lembut matahari sore. Entahlah, aku sudah lupa kapan terakhir kali aku ke tempat ini. Namun, rasanya tetap sama. Tempat ini masih penuh kenangan. Lagi, angin musim semi kembali menghembus. Tapi kali ini dia menerbangkan selembar kertas persegi empat berwarna merah muda padaku. Kertas origami. “Maaf Bibi, boleh aku pinta kertasnya?” seorang anak laki-laki seusia TK menyapaku, memandang penuh harap pada selembar kertas yang masih kupegang. “Ini punyamu?” Dia mengangguk. Aku tersenyum, lalu membungkuk agar sejajar dengannya. “Ini adik kecil,” serahku. “Mau buat apa dengan kertas itu?” “Senbazuru, Bibi mau ikut? Bu Guru pasti senang.” Tawarnya. Belum sempat kuiyakan, lenganku ditariknya. “Ayo, sebelah sini!” Senbazuru, salah satu kepercayaan orang-orang Jepang, melipat seribu bangau kertas agar keinginannya terkabul. Aku hanya tersenyum tipis kalau mengingatnya. Anak itu membawaku ke salah satu sisi taman di bawah rimbun pohon sakura. Beberapa anak seusianya sedang mengerumuni seorang gadis yang tengah sibuk mengajarkan cara membuat bangau kertas. “Bu Guru…” panggil anak yang bersamaku. “Aoiki? Darimana saja? Ibu bilang jangan jauh-jauh kan?” Tanya gadis itu. Aku terkesiap, rasanya tubuhku dialiri bervolt-volt listrik ketika bertatap mata dengannya, begitu pula gadis itu, yang hanya bias berdiri mematung. “Kakak?” tandasku akhirnya. * Yuna melipat bangau kertasnya yang ke dua puluh. Masih ada Sembilan ratus delapan puluh lagi yang harus dia buat untuk menggenapkannya. Entah kenapa semua bangau itu berwarna merah muda. “Masih percaya dengan senbazuru ya Kak?” tanyaku sembari memainkan kertas warna di tanganku. “Iya, buktinya salah satu keinginanku terkabul. Kita masih dipertemukan.” Jawabnya seraya mengambil kertas selanjutnya. “Kebetulan kurasa,” balasku pelan. “Bagaimana kabar dia?” tanyaku lalu, pertanyaan yang langsung kusesali. Yuna terdiam, begitu pula aku. “Em… maksudku…” “Tak apa, Dia baik kok. Bangau yang kubuat sekarang, permohonan untuknya.” Jawabnya. “Semoga kali ini kami bias terus bersama meski masalah terus menghadang.” Tambahnya. Aku masih diam, menelusuri alam pikiranku dengan perkataannya. “Maaf, Kakak salah padamu. Harusnya Kakak gak pernah masuk dalam kehidupan kalian.” Ucapnya dengan nada menyesal. “Mungkin kau memang harus benci aku, Anaya.” Aku menghela nafas, mengalihkan pandanganku darinya agar Ia tak melihat mataku yang memanas. Kupejamkan mata untuk menghalau laju air yang kini mulai jatuh darinya. Ribuan kenangan yang sudah kuusahakan terkubur berkelebat cepat di pikiranku layaknya flim yang sedang diputar. “Miura?” sebuah tangan mendekap bahuku. Buru-buru kuhapus jejak airnya dari wajahku. “Tak apa Kak, sungguh. Tak ada yang salah di sini.” Ucapku meyakinkan. “Aku tau Kakak menyukainya. Aku juga tahu dia suka Kakak, makanya aku pergi. Musim semi dua tahun lalu di tempat ini kita berpisah karena hal itu, jangan rusak pertemuan ini lagi dengan hal yang sudah kita tahu masalahnya. Sungguh, aku ikhlas.” Tambahku. Aku bias melihat air muka gadis itu berubah haru. Sejurus kemudian sepasang tangan mendekapku lembut, dekap yang sama dari seorang sahabat lama. “Yuna! Ternyata kau di sini, aku sudah mencarimu kemana-mana. Anak-anak bilang kau sedang bertemu seseorang, siapa dia?” sapa seseorang dari arah belakangku. Suara milik orang yang sedang kami bicarakan. “Kakak!” jawab Yuna sembari melepas peluknya. “Dia seorang teman lama yang kita kenal.” Ucapnya penuh senyum. “Oh ya? Siapa?” “Apa kabar, Kak Yuu? Lama tak jumpa.” Sapaku seringan mungkin padanya. “Anaya?” desisnya, aku mengangguk pelan. “Aku… kabar baik.” Ucapnya ragu. Hening, kembali tercipta di antara kami. Terseling hembusan angin musim semi dan matahari sore yang bersinar cerah, aku bangkit lebih dulu. “Sudah terlalu sore, sebaiknya aku pulang sekarang.” Ucapku pamit. “Eh, secepat itukah?” tanya Yuu. Lagi-lagi aku hanya mengangguk. Yuna juga bangkit dari duduknya, lalu, sekali lagi ia memelukku. “Apa kita masih bias bertemu?” tanyanya sembari melepas peluknya. “Pasti.” Jawabku dengan senyum. “Kirimkan secepatnya undangan pernikahan kalian ke tempatku yah!” tambahku sembari memberikan kertas yang kumainkan sebelumnya, kertas yang sudah kutuliskan alamatku. Setelah itu melangkahkan kaki menjauh. “Anaya?!” panggil Yuu. Kubalikkan tubuhku guna melihatnya. “Sampai jumpa.” Ucapnya. Dan untuk ketiga kalinya aku hanya menggangguk padanya, kemudian melambaikan tangan. * Kembali aku berdiri menghadap monument perdamaian anak ini, tempat yang sama di musim semi dua tahun yang lalu. Yang jadi tempat kami bertemu terakhir kali sebelum hari ini. Angin musim semi membelai wajahku lembut, diiringin guguran kelopak sakura. KLIK… Sekelebat flash kamera tertangkap mataku, aku menoleh. “Darimana saja kau? Hampir sejam aku di sini!” ucap laki-laki berjeans ketat dengan jaket kulit yang terbuka memperlihatkan kaus dalamnya. Sebelah tangannya berkacak pinggang, sebelahnya lagi memegang kamera LSR-nya. Wajahnya terlihat kesal, tapi aku malah tertawa melihat ekspresi itu. “Aku sedang marah, kau malah tertawa.” Cibirnya. “Masa? Kau tak akan marah padaku kalau kau masih mengambil gambarku.” Timpalku. “Lagipula sesekali membuatmu menunggu tak apa kan?” godaku, seraya bergerak berlari. Menghindarinya yang berusaha menangkapku. “Kau ini…” ucapnya, tapi penuh dengan senyum. Akhirnya, semua orang menemukan bagiannya yang terpisah, orang itu mungkin untuk orang lain, dan aku juga untuk orang lain yang lebih baik darinya. Dan benar saja, orang lain itu kini hadir, membawa senyum dan membuatku benar-benar percaya, kalau manusia itu diciptakan berpasangan. Dan tak ada pasangan yang pernah tertukar. END
Posted on: Thu, 12 Sep 2013 13:50:11 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015