Arsenal Takluk disurabaya bukan malang Aib Arsenal di Surabaya dan - TopicsExpress



          

Arsenal Takluk disurabaya bukan malang Aib Arsenal di Surabaya dan Sayonara Fandi Ahmad Dutam News - Beberapa hari lagi Arsenal akan berkunjung ke Indonesia untuk kedua kalinya. Ya, pada 1983 klub Inggris ini pernah melakukan tur di Indonesia. Salah satu pertandingan di Indonesia itu berakhir dengan kekalahan memalukan bagi Arsenal. Ada tiga tempat yang dkunjung Arsenal di Indonesia waktu itu; Medan, Jakarta dan Surabaya. Arsenal kala itu memboyong bintang-bintangnya mulai dari kiper legendaris Pat Jennings, bek termahal di dunia Kenny Sansom [dibeli Arsenal dari Crystal Palace 1,3 juta poundsterling], Alan Sunderland, Tonny Woodcock dan Graham Rix. Kunjungan dilakukan di sesi pre-season jelang kompetisi Liga Inggris musim 1983/1984. Pada masa itu nama Arsenal tak seheboh seperti sekarang. Tetapi Arsenal yang dulu datang dan yang akan datang tak jauh beda dalam kesuramannya. Selalu angin-anginan dalam prestasi dan gelar. Saat ke Indonesia pertama kali, Arsenal sedang dalam masa-masa kemunduran. Setelah menjuarai Divisi satu tahun 1970, mereka tak pernah mendapatinya lagi. Posisinya di klasemen pun melorot drastis dalam dua musim, Jika di musim 1981/1982 Arsenal berada di papan atas empat besar, di musim selanjutnya Arsenal melorot jauh ke peringkat 10. Saat kemunduran itulah baru kemudian mereka datang ke Indonesia. Arsenal yang dulu datang masih beruntung jika dibandingkan dengan Arsenal yang sebentar lagi akan datang. Dulu, dengan kondisi tim sekelas Arsenal yang pada waktu itu belum cukup begitu besar, empat tahun tanpa gelar masih bisa dianggap wajar. Saat datang ke Indonesia tahun 1983, terakhir kali mereka mendapat gelar pada 1979, yaitu Piala FA. Tapi sekarang, dengan Arsenal yang menjadi klub terkaya nomor empat di dunia dengan kekayaan 880 juta poundsterling, dan pemain bintang melimpah, mereka kembali lagi ke Indonesia -- dan mereka datang sama dengan pendahulu mereka yaitu datang di era kemunduran. Hanya saja kini angkanya jadi dua kali lipat; 8 tahun tanpa gelar. Kesamaannya lainnya: gelar terakhir yang didapat Arsenal kali ini juga adalah piala FA, tepatnya di tahun 2005. ** Medan adalah kota pertama yang dikunjungi Arsenal. Kamis, 9 Juni 1983, disaksikan sekitar 7.000 penonton di stadion Teladan, Arsenal mampu menunjukan kelasnya sebagai tim Inggris. Di laga itu The Gunners meluluhlantahkan PSMS Medan Plus dengan tiga gol tanpa balas (3-0). Gol pertama dicetak lewat winger Brian Mc Dermott di menit 22, memanfaatkan bola liar yang dialirkan penyerang Lee Chapman. Di babak kedua para pemain PSMS Plus yang bermaterikan pemain gabungan Pardedetex, Mercu Buana dan PSMS sendiri, gagal membendung serangan lawan. Raphael Mead menambah keunggulan Arsenal di menit 75 lewat sontekan lemahnya, setelah melewati lima pemain belakang. Tiga menit berselang, gantian Terry Lee yang membobol jala Kiper Supriono. Hingga wasit Kamaluddin meniupkan peluit panjang, skor berakhir dengan 3-0 untuk tim dari London itu. Usai dari Medan, 12 Juni 1983 Arsenal singgah ke Senayan. Lawan yang dihadapi adalah pemain PSSI Selection yang mayoritas diisi eks punggawa SEA Games yang baru saja usai digelar di Singapura. Arsenal mengamuk di Senayan, mereka menang 5-0. Publikpun sudah memprediksi. Toh tim yang dihadapi adalah PSSI Selection yang pesakitan, yang terseok-seok di SEA Games: dibantai Thailand 5-0 dan gagal lolos dari fase grup, kalah poin dari Brunei Darussalam. Sungguh memalukan. ** Kedigdayaan Arsenal di Medan dan Jakarta membuat mereka pede bakal menghibur publik Kota Pahlawan, Surabaya. Lawan yang mereka hadapi adalah Niac Mitra, sang Juara Galatama. Bos Niac Mitra, Alexander Wenas, berharap anak asuhnya mampu membobol gawang Pat Jennings. "Boleh kalah, tapi jangan terlalu mencolok. Lebih baik kalah 2-10 daripada kalah kosong sama sekali," ujarnya kepada harian Kompas, seraya membandingkan dua hasil pertandingan Arsenal sebelumnya. Namun siapa sangka, tak akan ada yang pernah mengiranya. Surabaya memang selalu tak bersahabat bagi orang Inggris. Di masa perang, Brigadir Jenderal Inggris AWS Mallaby berhasil ditewaskan di Jembatan Merah oleh para pejuang kemerdekaan. Di masa damai, giliran Arsenal yang dimuat malu lewat pertandingan sepakbola. Gelora 10 November yang jadi saksinya. Di hadapan ribuan penonton beratribut hijau-hijau, pasuka London utara itu takluk dari arek-arek Suroboyo, dua gol tanpa balas. Petaka Meriam London tercipta di menit 37. Dari sebelah kiri pertahanan Arsenal, Hamid Asnan melambungkan bola pendek kepada Fandi Ahmad. Pemain Singapura ini, setelah menjinakkan bola di udara, langsung menghantamkan kaki kirinya. Bola melayang melewati dua pemain belakang Arsenal. Kiper Pat Jennings mati langkah dan terciptalah gol pertama untuk tuan rumah Niac Mitra. Di penghujung babak pertama, Niac berpotensi menambah gol saat Joko Malis tinggal one by one dengan Pat Jennings. Sayang, tembakan Joko masih lemah. Enggan dipermalukan, di babak kedua Arsenal main makin trengginas. Sayang, Arsenal selalu gagal memerawani gawang Niac yang dijaga David Lee. Dua kali mereka nyaris membuahan gol kalau tak diselamatkan Tommy dan Yance Lilpaly. Frustasi tak bisa buat gol, di menit 80 gelandang tenar Alan Sunderland secara kasar mendendang center-back Tommy Latuperissa. Wasit pun mengeluarkan kartu kuning kedua kepadanya karena sepuluh menit sebelumnya ia memperoleh kartu kuning karena menendang Joko Malis. Tanpa ampun Sunderland harus keluar dari lapangan. Menjelang akhir pertandingan, terciptalah gol kedua Niac. Berawal dari serbuan Fandi Ahmad yang kemudian mengirimkan umpan terobosan ke depan, Joko melakukan pergerakan tanpa bola. Dia berhasil lolos dari perangkap offside dan dengan cerdik mengirimkan tembakan menyilang ke tiang jauh. Kiper Jennings kembali dibuat tak berdaya. Dua kosong terpampang di papan skor yang bertahan sampai akhir pertandingan. Para penggawa Arsenal keluar dari lapang dengan wajah murung mencerminkan kekecewaan dan penyesalan. Di ruang ganti Pat Jennings dan kawan-kawannya melepas pakaian disertai hentakan-hentakan yang diiringi rasa emosi. Manajer Terry Neil berusaha menenangkan dan meminta agar tak larut dalam kesedihan. Kepada Kompas ia mengakui tak bsa menutupi perasaan malu dan gundahnya. "Sangat mengecewakan dan akan membuat kami sulit tidur, sungguh memalukan," katanya. Namun ia membantah bahwa kekalahan tersebut adalah aib buruk dalam sejarah klub London utara itu. "Kami tidak main buruk. Anda bisa lihat sendiri, kami setidaknya bisa cetak enam gol," ucapnya. Ia menyebut cuaca panas yang menjadi penyebab kekalahan anak asuhnya. Sungguh lucu memang. Sebelum laga dimulai, manajer berkebangsaan Irlandia utara Uni berujar bahwa cuaca bukanlah halangan berarti. "Kami dulu juga pernah ke Trinidad yang tak kalah panas. Klub seperti kami harus bisa main dalam kondisi bagaimanapun," katanya. Dan Terry Neil di Surabaya harus menelan ludahnya sendiri. Kemenangan Niac atas Arsenal harus ditutup dengan suasana kegembiraan berwarna kelabu. Bos Niac Mitra, Alexander Wenas, memberikan serangkum anggrek berwarna ungu kepada Fandi Ahmad dan David Lee. Fandi melambai-lambaikan kembang itu ke arah penonton seraya berkata: "Sayonara ..." Publik menyambutnya dengan lambaian tangan bercampur perasaan hampa. Mereka tahu riwayat pemain pujaan mereka telah berakhir sampai di situ. "Ini pertandingan Fandi dan David yang terakhir," terdengar suara dari mikrofon. Rupanya kurang keras sehingga Wenas berteriak ke arah penyiar: "Lagi, lagi, yang keras!" Kemudian Fandi Ahmad, diikuti David Lee mengangkat anggrek ungu itu tinggi-tinggi dan berlari-lari diiringi semua pemain, mengitari Stadion 10 November yang disesaki 25.000 penonton. Regulasi yang dibuat ketua PSSI Syarnubi Said "mengusir" semua pemain asing di Indonesia kala itu menjadi kepedihan bagi arek-arek Suroboyo. Beruntung kepedihan itu ditutup dengan kebahagiaan. "Kemenangan yang menyedihkan," kata seorang penonton kepada Majalah Tempo.
Posted on: Sat, 13 Jul 2013 00:55:59 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015