Banyak orang mengeluhkan krisis kepemimpinan di negeri - TopicsExpress



          

Banyak orang mengeluhkan krisis kepemimpinan di negeri ini. Indikasinya, sering terjadi kerusuhan, kekerasan, dan tindakan brutal. Kerusuhan terus menerus membuat kewibawaan pemimpin dipertanyakan. Kebutuhan akan pemimpin yang berwibawa dirasa sudah mendesak. Istilah “pemimpin” diterjemah dalam bahasa Arab dengan imam. Imam shalat adalah orang yang dianut gerakannya oleh para makmum. Kemudian, siapa pun yang memimpin sekelompok orang layak disebut imam. Pemimpin adalah panutan bagi yang dipimpinnya. Istilah lain dari imam adalah ra’in. Ada beberapa peran yang layak disebut sebagai pemimpin karena dituntut pertanggungjawabannya. Sebuah Hadits shahih menyatakan: “Hadits riwayat Ibnu Umar ra: dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda: Ketahuilah! Masing-masing kamu adalah pemimpin, dan masing-masing kamu akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpin. Seorang raja yang memimpin rakyat adalah pemimpin, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin anggota keluarganya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap mereka. Seorang istri juga pemimpin bagi rumah tangga serta anak suaminya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya. Seorang budak juga pemimpin atas harta tuannya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpinnya. Ingatlah! Masing-masing kamu adalah pemimpin dan masing-masing kamu akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.” Ada beberapa hal yang dapat kita catat dari teks Hadits ini. Pertama, pemimpin bisa berujud raja, suami, isteri, bahkan budak sekalipun, sepanjang memiliki sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan. Dalam konteks sekarang, pemimpin tidak hanya kepala negara atau kepala daerah, tetapi bisa dari kalangan legislatif atau yudikatif. Pemimpin bisa membawahi sedikit orang. Pemimpin bisa dalam aspek struktur, dan bisa dari aspek kultur. Kedua, pemimpin adalah pemegang amanah, karenanya ia harus mempertanggungjawabkan perannya. Ketiga, pemimpin harus menjadi panutan. Banyak pemimpin yang kurang menyadari bahwa tingkah laku dan kebijakan mereka selalu diperhatikan oleh yang dipimpin, rakyat. Pemimpin itu pekerjaan mulia, tetapi tanggungjawabnya berat. Tidak semua orang bisa. Karena itu, jangan hanya lantaran terbayang akan memperoleh limpahan kesenangan duniawi kemudian latah untuk diangkat menjadi pemimpin. Sebuah Hadits shahih riwayat Imam Muslim mengingatkan agar orang tidak minta diangkat menjadi pemimpin, sebagai berikut: “Hadits riwayat Abu Musa ra, ia berkata: Aku menemui Nabi saw bersama dua orang lelaki anak pamanku. Seorang dari keduanya berkata: Wahai Rasulullah, angkatlah kami sebagai pemimpin atas sebagian wilayah kekuasaanmu yang telah diberikan Allah azza wa jalla! Yang satu lagi juga berkata seperti itu. Lalu, Rasulullah saw. bersabda: Demi Allah, kami tidak akan mengangkat seorang pun yang meminta sebagai pemimpin atas tugas ini dan tidak juga seorang yang berambisi memperolehnya” (HR Muslim). Kandungan Hadits ini sejalan dengan seruan Allah agar umat manusia tidak menyerahkan amanat, termasuk di dalamnya kepemimpinan, kepada orang yang diperkirakan tidak punya kapabilitas. Dalam surah An-Nisa [4] ayat 58 disebutkan: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyerahkan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (An- Nisa’ [4]: 58). Tradisi kita yang sulit dibuktikan dengan ilmu administrasi, tetapi dapat diyakini dan dirasakan, adalah politik uang. Untuk meraih jabatan pimpinan tertentu, banyak orang tidak segan mengeluarkan banyak uang. Ini tradisi yang bertentangan dengan pesan ayat Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah berdasarkan Hadits di atas. Ada juga yang setelah pegang kepemimpinan, agar tidak dilengserkan, tidak segan mengeluarkan sejumlah uang kepada siapa yang menjadi penentu kelengseran tersebut. Ada sebuah Hadits yang penting diperhatikan: “Hadits riwayat Abu Humaid As-Saidi ra., ia berkata: Rasulullah saw menugaskan seorang lelaki dari suku Asad yang bernama Ibnu Lutbiah Amru serta Ibnu Abu Umar untuk memungut zakat. Ketika telah tiba kembali, ia berkata: Inilah pungutan zakat itu aku serahkan kepadamu, sedangkan ini untukku yang dihadiahkan kepadaku. Lalu berdirilah Rasulullah saw di atas mimbar kemudian memanjatkan pujian kepada Allah, selanjutnya beliau bersabda: Apakah yang terjadi dengan seorang petugas yang aku utus kemudian dia kembali dengan mengatakan: Ini aku serahkan kepadamu dan ini dihadiahkan kepadaku! Apakah dia tidak duduk saja di rumah bapak atau ibunya sehingga dia bisa melihat apakah dia akan diberikan hadiah atau tidak. Demi Tuhan Yang jiwa Muhammad berada dalam tangan-Nya! Tidak seorang pun dari kamu yang mengambil sebagian dari hadiah itu, kecuali pada hari kiamat dia akan datang membawanya dengan seekor unta yang melenguh di lehernya yang akan mengangkutnya atau seekor sapi yang juga melenguh atau seekor kambing yang mengembek. Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sehingga kami dapat melihat warna putih ketiaknya. Kemudian beliau bersabda: Ya Allah, bukankah telah aku sampaikan. Beliau mengulangi dua kali” (Shahih Muslim No.3413). Persoalannya sekarang, mengubah tradisi, termasuk dalam hal ini suap, itu tidak mudah. Tradisi itu sekumpulan perilaku yang dikoleksi secara sadar dan teruji, sebagai hal yang dianggap benar, lalu mapan. Untuk mengubahnya, diperlukan kesadaran baru yang dibangun oleh pikiran yang segar bahwa tradisi “lama” itu benar-benar salah. Kesadaran ini pun harus menghasilkan sekumpulan tingkah laku yang dikoleksi secara simultan untuk memperoleh pengakuan bahwa tradisi “baru” ini benar. Kalau kebenaran itu hanya dipikirkan tanpa “dibumikan” menjadi serangkaian aksi yang kemudian menjadi kebiasaan, maka tradisi “lama” tersebut tidak goyah. Mengapa? Karena hal baik yang masih dalam pikiran baru berupa teori yang mudah dilupakan, karena tidak didukung oleh fakta. Upaya ini termasuk jihad yang amat besar, karena mengubah pikiran “lama” yang sudah mendarah daging. Pertanyaan berikutnya dari pihak pemimpin barangkali adalah, apakah seseorang dapat mereguk manisnya kepemimpinan? Jawabnya “bisa.” Harus disadari bahwa manisnya kepemimpinan tidak selamanya fisik. Manis yang sebenarnya justru yang dirasakan oleh hati, dan ini lebih kekal dari manis fisik. Sebaliknya, bila kepemimpinan itu menyimpang, ia akan memetik buah pahitnya juga. Kita perhatikan sebuah Hadits: “Hadits riwayat Abu Hurairah ra: Dari Nabi saw beliau bersabda: Sesungguhnya seorang pemimpin itu merupakan perisai, rakyat akan berperang di belakang serta berlindung dengannya. Bila ia memerintah untuk takwa kepada Allah azza wa jalla serta bertindak adil, maka ia akan memperoleh pahala. Namun bila ia memerintah dengan selainnya, maka ia akan mendapatkan akibatnya” (Shahih Muslim No.3428). “Hadits riwayat Ibnu Umar ra.: Dari Nabi saw beliau bersabda: Kewajiban seorang Muslim adalah mendengar dan taat dalam melakukan perintah yang di sukai atau pun tidak disukai, kecuali bila diperintahkan melakukan maksiat. Bila dia diperintah melakukan maksiat, maka tidak ada kewajiban untuk mendengar serta taat” (Shahih Muslim No.3423).
Posted on: Thu, 03 Oct 2013 07:51:06 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015