Tajuk rencana Komplementasi Positif Muatan Lokal Pendidikan - TopicsExpress



          

Tajuk rencana Komplementasi Positif Muatan Lokal Pendidikan SEJAK dulu, sektor pendidikan dianggap sangat penting. Namun dari dulu pula tidak ada tindakan penting yang dilakukan pemerintah. Salah satu contoh, angka 30 persen pagu anggaran untuk pendidikan ternyata tidak semata-mata untuk pendidikan. Komponennya macam-macam. Mulai dari gaji pegawai serta belanja ini-itu sehingga jatah untuk meningkatkan kualitas pendidikan itu jadi tidak seberapa. Itulah salah satu gambaran utopis negeri ini tentang pendidikan. Sekarang ini, di tengah sorotan soal pendidikan anak, barangkali kita harus sedikit realistis memandangnya sebagai sebuah upaya minimal yang syukur-syukur bisa berbuah maksimal. Di tengah, upaya cepat pemenuhan isi kurikulum terutama terhadap anak didik di tingkat pendidikan dasar serta menengah, maka ada beberapa hasil yang di satu sisi justru memiriskan kita semua. Ini sebenarnya bukan fenomena baru. Dulu pun ketika beberapa petinggi serta pemerhati pendidikan berkaok-kaok soal pentingnya humaniora, kita justru lebih mementingkan ilmu-ilmu sains. Padahal untuk tingkat dasar dan menengah, perlu landasan humaniora yang kuat sebelum akhirnya mereka terjun ke tingkat ilmu sains di tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Barangkali pula, perlu disadari semua pihak terutama pemerintah bahwa keinginan daerah untuk lebih banyak memasukkan pelajaran muatan lokal dalam tambahan kurikulum nasional mestinya dipandang sebagai sebuah komplementasi positif di tengah kegamangan sosial serta moral anak didik akibat kemajuan zaman. Pendidikan budi pekerti serta local genius suatu daerah mungkin sebagai salah satu upaya membentengi anak didik menapaki pertambahan usia serta dalam memberikan landasan pemahaman yang lebih holistik terhadap suatu permasalahan yang ditimbulkan oleh sebuah kompleksitas kehidupan manusia modern saat ini. Saat ini, ketika anak-anak usia dini lebih dikenalkan kepada budaya elektronik maka secara perlahan mereka kehilangan kemampuan motorik halusnya. Ini memang sangat berbahaya. Anak cenderung menjadi tidak tanggap sosial. Di sinilah peran-peran instrumen kelokalan yang bisa mengisinya. Untuk lokal Bali, ide serta praktik pasraman singkat mengisi hari libur itu sebuah langkah tepat bagaimana menghasilkan sosok siswa yang mempu bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri secara sosial serta emosional. Di mana terbangun saat itu sebuah komunikasi sosial kultural dengan lingkungannya. Ini akan sangat membantu pembangunan karakteristik seseorang. Ini semestinya ditanggapi benar secara serius. Saat ini, anak didik cenderung dicekoki materi kurikulum yang bejibun. Kalaupun sekarang ada strategi baru pemerintah dalam mengenalkan kurikulum baru yang katanya lebih komprehensif, namun tidak akan banyak membantu manakala anak didik masih tetap diposisikan sebagai tong kosong yang harus diisi sampai jatah materinya habis. Bukan itu sebenarnya. Ini memang sebuah dilema, tetapi kalau melihat sangat lamanya kontroversi ini terjadi semestinya pemerintah sudah bisa mengambil garis tegas bahwa apa yang dilakuan terhadap siswa harus benar-benar dalam konteks pembangunan seutuhnya. Jadi seperti riak polemik soal penghapusan mulok Bahasa Bali, tentu hal itu diharapkan tidak terjadi lagi. Itu salah satu contohnya, akan memperhalus budi pekerti seseorang agar tidak tampil kasar, beringas, mudah marah dan sebagainya. Muaranya sudah sangat jelas, siswa kita sekarang mudah stres dan sangat rentan. Barangkali kata-kata bijak Albert Einstein penting dipertimbangkan lagi: pengetahuan tanpa agama buta dan agama tanpa pengetahuan lumpuh. Mungkin ada benarnya.
Posted on: Thu, 19 Sep 2013 01:26:52 +0000

Trending Topics



Recently Viewed Topics




© 2015